Oleh : Hartini Muhammad
Pala dan kelapa jadi saksi ribuan rusa pernah tempati pulau berbatu dan berbukit indah ini, Pulau Mare.
Perairan Pulau Mare dengan potensi perikanan ini membuat mata terpana. Hempasan ombak di tepi pantai Pulau Mare berpadu merdu kicauan burung yang menarik kedamaian pada diri.
Mare membuat saya kagum. Mata termanjakan haparan pasir putih di tepi pantai kedua desa di Pulau ini. Makrefo dan Maregam menyambut penuh kebahagiaan ketika kapal kayu berlahan-lahan merapat ke pantai.
Meski ada tanya yang terbesit bersama nyiur angin yang menerpa. Tentang kehidupan di balik pepohonan hijau dan perbukitan yang berhadapan dengan Gunung Marijang, apakah sudah akrab dengan kehidupan yang layak? Ataukah masih terus disisakan janji manis tanpa arah pasti untuk kesejahteraan?
Potensi sumber daya perikanan di Pulau Mare perlu dijaga sebab berdasarkan data dari Menteri Kelautan dan Perikanan melalui Surat Keputusan Nomor 66/KEPMEN-KP/2020, Mare telah ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Perairan yang dikelola sebagai Taman Wisata Perairan (TWP) dengan luas secara keseluruhannya adalah 7.060,87 Ha.
Pulau yang berada di bagian barat ini masuk dalam wilayah administrasi Kota Tidore Selatan rupanya juga mengurai fakta keindahan dan tradisi yakni adanya batu perempuan serta pembuatan gerabah di sesa Maregam atau lebih spesifik akrab dengan nama Boso-Mare (balanga mare) yang menjadi ciri serta kearifan lokal masyarakat.
Terbesit akan kata Pramoedya Ananta Toer bahwa “Semua harus ditulis, apa pun. Jangan takut tidak dibaca atau tidak diterima penerbit. Yang penting, tulis, tulis, dan tulis. Suatu saat pasti berguna”.
Saya sadar, tulisan ini jauh dari kata sempurna. Namun kutuangkan saya tulisan ini sebagai bagian dari ekspresi rasa kagum beserta resah setelah 3 hari berbaur di kampung Marekofo yang merupakan salah satu kampung di Pulau Mare.
Kagum, sebab keindahan Alam dan ramahnya masyarakat dalam menyambut tamu dengan kesederhanaan yang membuat siapapun yang datang merasa berada di rumah sendiri.
Resah, karena serangkaian masalah yang tampak seperti layanan pendidikan, sampah dan yang sekarang sedang di tangani ialah soal penerangan Listrik.
Soal kondisi pendidikan misalnya, saya bertemu adik Fitri salah satu siswi SMP kelas 1 yang bersekolah di Kampung Marekofo. Dengan tawa serta keluguan vokalnya dengan bahasa sehari-hari, ia tampak senang berbagi cerita atas kondisi sekolahnya.
"Kalau di kelas tong 5 orang. Tong tra banyak siswa tapi kalo guru dong ada 10 orang. Dorang pulang jam 12 siang setelah kase belajar torang," tutur bocah manis ini.
Hal ini juga rupanya dilengkapi warga setempat bahwa Guru di Pulau Mare khususnya di desa Marekofo condong tidak disiplin waktu sehingga proses belajar mengajar yang harusnya dimulai sebelum pukul 07.30 malah dimulai pada pukul 08.30 atau 09.00 dan rata-rata para guru ini akan pulang sekitaran jam 12 siang dan rumah dinas guru di kampung ini justru tidak dimanfaatkan dengan seharusnya.
Setelah kelas belajar mengajar, para guru yang berdomisili di Tidore Pulau itu langsung pulang menaiki transportasi laut yakni bodi kayu. Kondisi ini jadi salah satu faktor minimnya pendidikan yang tidak setara di Kampung Marekofo.
Bayang-bayang pendidikan di Marekofo atas kesadaran tenaga kerja guru dalam proses belajar mengajar mulai mengundang tanya, apakah ilmu yang siswa/i terima dibangku pendidikan dengan layak justru ditentukan pada cuaca yang bersahabat atau tidak? Sebab para guru yang tidak berdomisili di Pulau Mare bisa saja tidak memberikan pendidikan yang layak ketika cuaca tidak bersahabat.
Selain itu, mengamati pantai yang indah nan menyenangkan mata karena birunya air laut serta kejernihan air yang memperjelas adanya terumbu karang yang cantik, rupanya masih ada pesisir pantai yang di baluti sampah plastik yang katanya adalah sampah dari Ternate dan Tidore pulau.
Keresahan ini juga tak luput dengan penerangan listrik yang minim dan jauh berbeda dengan kondisi di Tidore Pulau yang sudah 24 jam lebih dulu menikmatinya. Fakta dirasakan sebab lampu akan menyala di waktu-waktu tertentu.
Perbincangan malam bersama para pemuda di Marekofo kala itu juga membenarkan bahwa masalah yang satu ini telah diupayakan dengan hadirnya mesin diesel pada awal bulan juni 2023 ini. Hal solutif tersebut diharapkan mampu meminimalisir permasalahan terkait penerangan listrik di Pulau Mare agar masyarakat dapat menikmati listrik dan bisa hidup jauh dari kegelapan di era perkembangan yang semakin maju.
Satu hal yang membuat saya kagum ialah ketika melihat bahasa Tidore yang di pakai sehari-hari oleh para seluruh masyarakat tak terkecuali anak-anak masih terus terbudaya bahkan dengan lancar menuturkan setiap kata menggunakan Bahasa Tidore.
Tapi bukankah itu hal yang wajar? Jelas wajar, namun ini hal berbeda dengan kondisi di pulau Tidore sendiri, bahasa Tidore justru hampir hilang dari kaum remaja serta anak-anak, ada dengan alasan malu berbahasa Tidore atau bahkan mengaku tidak tau bahasa Tidore karena minim mendengarnya di setiap hari.
Pada hakikatnya, Bahasa Tidore adalah identitas kita sebagai masyarakat dan anak cucu Tidore. Maka praktek masyarakat di desa Marekofo bagi saya representasi melestarikan bahasa daerah khususnya Tidore yang diperkenalkan sejak dini pada anak-anak mereka. Hal ini yang patut di contoh, sebab sebagai regenerasi Tidore kita harus merawat identitas diri atas nama Tidore.
Dengan setiap keresahan dalam masalah yang di alami masyarakat dan terurai dalam tulisan ini saya harap hal itu tidak persisten dalam kehidupan masyarakat di Pulau Mare, belum lagi soal jalan penghubung kedua Desa di pulau Mare dan soal kesehatan bahkan pelestarian terumbu karang yang belum terurai dalam tulisan ini. Namun pastinya untuk permasalahan yang sudah lama dirasakan masyarakat ini, jelas harus ada hal solutif yang kompatiber dari pemerintah disertai kesadaran masyarakat dalam meraih kesejahteraan masyarakat di pulau Mare. Dan sudah barang tentu atas keindahan serta kayanya alam di Pulau Mare yang termuat dalam tulisan sederhana ini membuat saya ingin kembali berbaur dan menulis cerita atas setiap hal yang kasat mata di pula Mare.