Oleh : Viratun*
Media sosial dijadikan sebagai strategi komunikasi politik merupakan relatif baru dan menjadi fenomena hangat hingga kini. Misalnya, yang paling mendapat sorotan yaitu ketika kampanye politik kandidat Presiden Amerika Serikat, Barack Obama dan tim suksesnya pada Tahun 2008. Kampanye tersebut menggunakan media baru untuk menyebarkan informasi seputar program dan kegiatan kampanye dalam rangka menggalang simpati dan dukungan masyarakat Amerika pada saat itu.
Di Indonesia, penggunaan media sosial sebagai alat komunikasi politik yang paling marak ketika pemilihan presiden Republik Indonesia pada tahun 2019. Maraknya media sosial di dunia maya dalam kampanye Pilpres 2019 berkaitan dengan makin banyaknya pengguna internet di negeri ini. Varian media sosial yang tengah berkembang dan banyak diminati adalah Facebook, Twitter, WhatsApp, Youtube, dan sebagainya.
Jika media tradisional menggunakan media cetak dan media broadcast, maka media sosial menggunakan internet. Dengan demikian, media sosial sebagai sarana komunikasi memiliki peran membawa orang (penggunanya) untuk berpartisipasi secara aktif dengan memberi kontribusi dan feedback secara terbuka, baik untuk membagi informasi maupun memberi respon secara online dalam waktu yang cepat.
Pemilihan Umum (Pemilu) sering disebut sebagai pesta demokrasi yang dilakukan sebuah negara. Dalam sebuah negara yang menganut paham demokrasi, pemilu menjadi kunci terciptanya demokrasi. Di Indonesia pemilu merupakan suatu wujud nyata dari demokrasi dan menjadi sarana bagi rakyat dalam menyatakan kedaulatannya terhadap negara dan pemerintah. Pemilu berlandaskan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pemilu diselenggarakan dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Partisipasi politik dalam negara demokrasi merupakan indikator implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh rakyat (kedaulatan rakyat), yang dimanifestasikan keterlibatan mereka dalam pesta demokrasi (Pemilu). Makin tinggi tingkat partisipasi politik mengindikasikan bahwa rakyat mengikuti dan memahami serta melibatkan diri dalam kegiatan kenegaraan.
Sebaliknya, tingkat partisipasi politik yang rendah pada umumnya mengindikasikan bahwa rakyat kurang menaruh apresiasi atau minat terhadap masalah atau kegiatan kenegaraan. Rendahnya tingkat partisipasi politik rakyat direfleksikan dalam sikap golongan putih (golput) dalam pemilu. Oleh karena itu, tingkat partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan umum merupakan hal yang sangat penting pula untuk ditilik, karena rendah atau tingginya suatu partisipasi merupakan sinyal dan indikator penting terhadap jalannya proses demokasi dan pengejawantahan dari kedaulatan rakyat.
Pemilih pemula yang terdiri atas pelajar, mahasiswa atau pemilih dengan rentang usia 17-21 tahun menjadi segmen yang memang unik, seringkali memunculkan kejutan dan tentu menjanjikan secara kuantitas. Disebut unik, sebab perilaku pemilih pemula dengan antusiasme tinggi, relatif lebih rasional, haus akan perubahan dan tipis akan kadar polusi pragmatisme.
Pemilih muda pada Pemilu adalah generasi baru pemilih yang memiliki sifat dan karakter, latar belakang, pengalaman dan tantangan yang berbeda dengan para pemilih di generasi sebelumnya. Sebagian besar di antara mereka berasal dari kalangan pelajar, berstatus ekonomi baik, dan pada umumnya tinggal di kawasan perkotaan atau sekitarnya. Kelompok ini sangat tersentuh kemajuan teknologi informasi, mereka menggunakan alat-alat teknologi canggih dengan baik, mulai dari handphone, laptop, tablet dan aneka gadget lainnya.
Pemilih pemula sejalan dengan perkembangan zaman, masih sangat kurang pengetahuan tentang Pendidikan politik, walaupun sudah di dukung dengan perkembangan teknologi, biasanya mereka menggunakan hak suara karena dorongan dari keluarga, teman dan lingkungan sekitar untuk memberikan hak suara.
Faktor-faktor yang menghambat partisipasi politik pemilih pemula yaitu kesibukan kegiatan sehari-hari para pemilih pemula umumnya adalah pelajar, mahasiswa dan pekerja. Hal yang sangat wajar bagi para pemilih pemula yang rata-rata umurnya berkisar 17-21 tahun itu. Hal inilah yang menjadikan pemilih pemula enggan melakukan kegiatan politik yang umumnya menyita waktu yang banyak.
Tuntutan sebagai pelajar dan bekerja menjadi alasan utama bagi para pemilih pemula enggan melakukan kegiatannya di bidang politrik. Peran pemilih pemula yang sangat kompleks dalam kegiatan sehari-hari untuk memenuhi tanggungjawab mereka terhadap pribadinya, selalu menjadi factor utama yang menghambat keterlibatan mereka dalam kegiatan pemilihan umum. Minder ini biasanya disebabkan oleh tingkat pendidikan yang rendah atau minimnya pengalaman dalam kegiatan politik maupun tingkat sosial ekonomi yang rendah.
Dalam partisipasi pemilih pemula dalam pemilu, pihak keluarga adalah faktor yang berpengaruh besar dalam kehidupan seseorang. Pihak keluarga dapat mendukung atau bahkan menentang perilaku anggota keluarga yang lain. Jika pihak keluarga suda tidak mendukung keputusan seseorang, maka orang tersebut lebih banyak mengurungkan niatnya.
Disisi lain selain keluarga, media social juga berpengaruh terhadap pola pikir pemilih pemula dalam menentukan jalan politik terhadap partisipasi dalam pemilu, misalnya browsing tentang politik di media social, namun hal ini hanya sebagian kecil yang memanfaatkan media social untuk browsing tentang pemilu atau sekedar membaca apa itu Pendidikan politik.
Menurut saya, hal yang menyangkut partisipasi politik dalam pemilih pemula harus lebih di gencarkan untuk Pendidikan politik yang berkesinambungan dan krativitas tinggi misalnya di kemas dalam bentuk video yang melibatkan anak-anak muda sebagai pemilih pemula untuk menadi narasumber atau actor dalam sosialisasi tersebut sehingga anak muda atau pemilih pemula yang lain merasa tertarik untuk berpartisipasi. (*)