Oleh : Zakiah Buamona
Pagi itu matahari belum terlalu memberikan panasnya seperti hari-hari kemarin, ia seakan malu memberikan sinarnya pada makhluk yang membutuhkannya.
Sedang jarum jam terus berputar dan tak mau tuk berhenti. Kini jarum jam tepat berada pada jam 08:00 pagi, aku yang sedari tadi telah membersihkan tubuh, dengan cepat aku melangkahkan kaki menuju tempat dimana pelepasan mahasiswa KKN berkumpul, ya kampus.
Seminggu sebelum aku berangkat menuju negeri asing, ayah dan ibuku telah berada di kota tempat aku kuliah, berniat untuk mengantarkan anak pertama mereka pergi.
Waktu pun berlalu, hingga tibalah perpisahan itu. Perpisahan yang sebenarnya tak kuinginkan, tapi aku mencoba untuk menguatkan hati sebab, ini tanggung jawab sebagaimana mahasiswa pada umumnya, menuntut ilmu pengetahuan.
“Jaga diri baik-baik, jangan lupa shalat. Jika telah sampai disana kabari papa dan mama”. Ayah pun membuka suara, pesan itu seakan mengurung niatku tuk meninggalkan mereka pergi. Tapi apa yang bisa ku lakukan, mungkin ini takdir Tuhan.
“Hati-hati disana, jangan keluyuran kalau malam”. Sanggah Ibu, yang berdiri tak jauh dari samping ayah dan adikku.
Saat itu hanya kata ia yang menjadi jawaban atas pesan dan nasehat mereka, hati dan pikiran bagaikan di terpa gelombang samudera.
Kupandangi satu persatu wajah pahlawanku itu, yang tergambar hanyalah raut kesedihan. Tanpa kusadari air mata jatuh menetes membasahi penutup aurat yang kukenakan. Tak menunggu lama akupun langsung memeluk ayah dan ibu.
Sedih, bahagia, dan deg-degan telah menyatu. Kenapa tidak, sebab ini kali pertama Akii meninggalkan sanak keluarga, menuntut ilmu di negeri orang, negeri seribu pagoda. Bahagia karena perjalanan begitu mengesankan, penuh pengalaman. Gugup karena takut belum mampu beradaptasi bersama lingkungan disana.
Sebulan sudah Akii di negeri pagoda, memang dua hari setelah sampai kesana dosen pembimbing bersama mahasiswa KKN mengikuti acara pembukaan di kampus Hatyai University.
Hari itu adalah hari terakhir dimana Akii berjumpa dengan dosen serta sahabatnya, tiga orang sahabat yang datang dari negeri yang sama, dipisahkan karena tempat mengajar yang berbeda. Acara pun selesai, pada saat yang sama aku langsung di jemput kepala sekolah.
Menjelang tiga hari mengajar, Akii pun mendapati kebingungan yang ia sendiri tak tau harus berbuat apa. Sebab, pengalaman yang ia dapatkan selama di Indonesia ialah mengajar pada tingkatan SMA namun selama berada di negeri seribu pagoda ini, ia harus mengajar pada tingkatan SD yang itu susah untuk dijelaskan.
“Ya Allah apa yang harus kulakukan? Aku bingung. Tapi aku tidak akan menyerah, jika aku menyerah perjalananku sejauh ini akan sia-sia”. Bisik Akii dalam hati.
Wanita cantik itu seakan pasrah terhadap apa yang dirasakannya. Namun, gejolak semangatlah yang membuat ia bertahan sampai sejauh ini, tapi rasa sedu-sedan masih terus tergambarkan pada wanita berkerudung hitam itu.
Selang kejadian, Akii bergegas kembali ke apartemen yang tak begitu jauh dari tempat ia mengajar, dalam setiap langkahnya rasa penyesalan dan ingin menyerah mulai mengahatuinya. Di tambah dengan rindu pada orang tua yang tak mampu dibendungnya.Akii seakan terjatuh dalam lembah suram tak berjiwa.
Kini harapan tak seindah kenyataan, menembus batas kemampuan. Dalam keheningan yang kelam, keraguan menerpa jauh menerobos dinding ilmu pengetahuan. Apalagi kerinduan seakan lekang bagaikan tanah dimusim kemarau.
Perpisahan memang hanya menyisakan kepedihan, sedang rindu sudah tentu menjadi konsekuensi bagi yang meninggalkan. Dan pengalaman akan terus tercatat hingga nafas terakhir di hembuskan.
Begitulah yang dirasakan Akii saat ini, terkubur dalam rasa enggan tuk memisahkan, melangkah dan berburu mencari jejak ilmu pengetahuan.