Sumber : Ubin Com. |
Telah lama mereka saling mengenal,
bahkan sangat dekat. Kebersamaan
mereka terbilang penuh liku. Banyak
rintangan mereka alami. Namun, tak
satupun masalah itu menjadi pemisah dan jurang di antara mereka.
Mungkin karena waktu sudah menjadikan keduanya sosok yang setia dalam
kebersamaan. Kekuatan cinta di antara keduanya adalah satu-satunya alasan bahwa
tidak ada yang namanya perpisahan.
Waktu
terus berganti.
Tak ada satupun mahluk yang megetahui apa
yang akan terjadi. Begitu pula dengan Nurhalis dan Nurbaya. Rupanya perpisahan itu datang saat Nurhalis berangkat
kembali ke kota dimana tempat ia dilahirkan, dengan alasan mencari pekerjaan. Tanggung
jawab sebagai seorang imam menjadi alasan
lain perpisahan itu terjadi. Nurbaya pun menyadari hal tersebut. Sore itu menjadi hari yang
berat. Berat karena berpisah dengan orang yang sudah sekian lama bersama
berbagi suka dan duka. Sesekali rasa takut dan cemas menghantui
benak Nurbaya
atas apa yang akan terjadi di hari esok.
Waktu berputar begitu cepat, menggantikan bahagia menjadi duka, rindu menjadi lara. Hati
Nurbaya
pun semakin sedih bersama suara mobil angkot di samping jalan yang berada pesrsis di muka
halaman rumah mereka saat itu. Perlahan
wajah suaminya pun hilang. Nurhalis melambaikan tangan. Lalu,
dibalasnya oleh Nurbaya. Mobil angkot itu perlahan berjalan menyusuri arah uatara
***
Kerinduan mampu terlampiaskan
ketika hanya mendengar suara dari sang suami tercinta, komunikasi
telepon menjadi pengobat kegundahan hati saat timbulnya rasa rindu, walaupun
begitu singkat namun kenyamanan hatinya mampu terlampiaskan, sebab, ia pun
memahami aktivitas suaminya yang sementara sibuk dalam mencari nafka.
Berjalanya waktu selama satu tahun,
kedua pasangan itu tak pernah bosan-bosan dalam berkomunikasi, sebagai bentuk
menghilangkan rasa gunda mereka sehingga tak ada kata resah sedikitpun yang
terlintas. Namun kesetiaan itu berubah menjadi kesedihan saat Nurbaya
mengetahui bahwa suaminya telah mempunyai pasangan lain sebagai penggantinya,
sehingga Kesedihannya meluap tinggi tak ada yang mampu membendungi, dan pada
ahirnya ia pun terjatuh sakit
Kondisi Nurbaya menjadi terganggu
dikarenakan terlalu banyak beban pikiran yang ia tanggung selama kepergian
suaminya. Kebahagiaannya seakan telah direnggut oleh jarak dan waktu, sebab
konsekuensi dalam menunggu adalah perihnya merindu, namun kesabaran menjadi
tonggak utama dalam benaknya Nurbaya. Kini semua telah berubah, impian bersama
sang suami nenjalani hari-hari tua lenyap seketika
“Aku tak menyangka kamu sekejam itu padaku. Apa salahku padamu, sampai
kamu tega menduakanku. Selama ini aku pikir kamu adalah lelaki terbaik yang dikirimkan
tuhan untuk menemani hari tuaku nanti, padahal aku salah menilaimu. Aku masih
ingat pesanmu padaku disaat hari keberangkatanmu kala itu. Istriku jangalah
bersedih Aku pergi hanya untuk sementara dan akan kembali pulang disaat apa
yang aku cari sudah tercapai.Aku pasti pulang dan kita akan bersama
selama-lamanya. Itu pesanmu kepadaku, dan aku masi ingat sampai sekarang. Walaupun
sakit menanggung derita seorang diri dan ditemani dengan kesabaran membuat aku
kuat menghadapi semua kesusahan, kendati harus berjuang seorang diri namun aku
mencoba bersabar menanti kepulanganmu, namun disaat kamu sudah sukses, kamu
lupa akan janjimu, inikah yang dinamakan kesetiaanmu kepadaku? Cakap Nurbaya
lewat telepon kepada suaminya dengan kondisi yang sedang sakit namun ia
sembunyikan
***
Hingga suatu hari, Nurhalis mulai
menyesal dengan semua perbuatan yang ia lakukan kepada istrinya, padahal
istrinya begitu menyangi dan mencintainya. Ia benar-benar sadar disaat apa yang
selama ini ia bangga-banggakan kini musnah ditelan badai. Kesadarannya mulai
tampak ketika ia sudah kembali terjatuh miskin dan sang istri yang baru yang katanya
mencintainya pergi tanpa memberi isyara.
Sehingga pada akhirnya ia pun
kembalike kampung Nurbaya dengan tekad akan meminta maaf kepada Nurbaya walau
apapun resikonya ia akan terima. Sebab, ia tahu istri yang selama ini
benar-benar mencintainya telah ia sakiti dan ia curangi begitu saja. Istri yang
begitu soleha, perhatian dan juga penyayang
Ia
sangat menyesal dan berdosa pada dirinya sendiri, seakan akan beban yang ia
tanggung begitu berat. Percuma aku hidup didunia ini. Tak kuasa aku menahan beban
yang kian aku rasakan. Semua yang aku lalui tak lagi bermakna. Jika tuhan
menghedak aku rela nyawaku diambil sekarang juga biar semua menjadi lenyap,
sempat terpikir dalam benak Nurhalis.
Sementara
dari kejauhan seorang lelaki tua terlihat masih duduk di tempat pos penjagaan
kuburan menunggu hentinya hujan siang itu. Namun tak lama lagi hujan pun perlahan
mulai redah dan matahari mulai mengeluarkan pancaran sinarnya. Lelaki kota itu
masih saja tak mau meninggalkan halaman itu, kesedihannya meluap tinggi
terpatri dalam dirinya sehingga tak rela meninggalkan tempat itu
Sementara
disuasana perkampungan orang-orang masih saja hangat menceritakan betapa kejamnya
Nurhalis kepada istrinya. Ada yang mengatakan usir saja dia dari kampung ini,
adapula yang mengatakan pulangkan saja ia. Ia tidak pantas menginjak kaki
dikampung ini, dasar lelaki kota yang tak bertanggung jawab. Betapa tidak beruntungnya
ia mendapat seorang anak sulung dari pak imam yang sangat baik dan perhatian.
Rajin solat dan pintar ngaji. Sungguh tak berterima kasih ia kepada Tuhan yang
telah memberinya seorang istri yang semulia itu. Kata salah satu orang yang
berada di tengah keramaian orang-orang kampung
“Nak
ayo kita pulang. Biarkanlah istrimu pergi dengan tenang. Engkau harus
mengiklaskan kepergianya. Kita hanya bisa berdoa semoga ia bisa di terima disisi
Tuhan sang pencipta, jangan menyiksa dirimu seperti ini nanti arwah Nurbaya tak
bisa tenang dialam sana, ujar lelaki tua itu yang merupakan bapak mantu dari
Nurhalis
Perlahan
Nurhalis mulai bangun dari ketidurannya di atas tumpukan tanah kuburan istrinya,
lalu meninggalkan, namun sesekali menatap kebelakang seakan tak kuasa
meninggalkan. Ayo nak kita pulang. Bapak tahu perasaan kamu kaya gimana. Kamu harus
relah dan mengihlaskan. Mungkin kehendak tuhan dan kita manusia tak ada yang
mengetahuinya, ucap Pak Sutomo.
Ketika
di tengah kampung saat ia berjalan pulang, orang-orang kampung seakan kompak
meneriakan Nurhalis dengan kata yang sangat pedas terdengar di telinga. Kehidupan
kamu hanya dikelilingi dengan sampah-sampah yang kotor. Tak sudi kami melihat
kamu disini, ayo sana pulang. Pulanglah ke kota yang penuh orang-orang serakah
seperti kalian. Kota yang penuh sampah tak beraturan dan kebohongan merajalela
dimana-mana. Begitulah teriakan orang-orang kampung dengan penuh kemarahan.
***
Desingan
angin melambung tinggi di langit malam dan cahaya rembulan masih menampakkan
cahayanya disepertiga jalan, Nurhalis masi saja menatap keatas, sesekali berdoa
meminta petunjuk pada sang kuasa, mungkin hanya tuhan yang mengetahui atas apa
yang saat ini aku rasakan, gumamnya dalam hati.
Di tengah kehidupan
kota yang hiruk pikuk itu, Nurhalis masih mengiurkan semangat dan tekad tak
lagi mencari wanita lain sebagai pengganti istrinya. Rasa sayang terhadap
Nurbaya tak ada yang tergantikan posisinya. Setelah kematian Nurbaya, kehidupan
Nurhalis meringkuk dalam lamunan ketidaksadaran.
Kesedihan merangsang
imajinasinya sehingga aktifitas hidup seakan lamur dalam kebuntuan nalar yang
rabun, hari-hari yang ia lalui tak lain dan tak bukan memikirkan istrinya.
Penyesalan tak pernah lari dari kehidupan keseharianya, sebab belum bisa
menjadi seorang imam yang baik buat istrinya.
Ketidaknyamanan
selalu merasuki nalurinya sehingga tak ada cara keluar dari belenggu itu.
Perasaannya karam terjatuh dalam lautan hayalan dan membentangi cakrawala tanpa
memberi isyarat kapan ia akan kembali pada kesadaran hukum dunia, bahwa semua
yang ada pasti akan mati.
Nurhalis belum bisa merelakan kepergian istrinya, sehingga kesedihan selalu meroket dipenghujung malam saat tiba. Penyesalan atas perlakuannya kepada istrinya membuat Nurhalis harus terjatuh sakit karena terlalu mengalami beban pikiran. Hanya bayangan dan puing-puing kenangan yang selalu menemani kisah hidup kesehariannya.
Nurhalis belum bisa merelakan kepergian istrinya, sehingga kesedihan selalu meroket dipenghujung malam saat tiba. Penyesalan atas perlakuannya kepada istrinya membuat Nurhalis harus terjatuh sakit karena terlalu mengalami beban pikiran. Hanya bayangan dan puing-puing kenangan yang selalu menemani kisah hidup kesehariannya.
Kabar
tak pernah Ia sampaikan. Keluarga maupun saudara tak ada yang tahu tentang
kondisinya yang sedang sakit itu. Ia berniat tak akan memberi kabar kepada
siapapun tentang keadaannya. Yang sempat terpikir dalam benaknya adalah
biarkan ia mati bersama kepedulian rasa rindu yang mengebu terhadap istri
tercinta. Baginya
cara itu merupakan salah satu permohonan maaf kepada istrinya, agar dapat
menghilangkan rasa ketidaknyamanan hati. Sehingga sekalipun ia mati, asalkan
dengan keadaan terbaring diatas bayangan kepulauan gelora rindu yang
menggelayut diatas cakrwala wajah istrinya.
Sempat
terbayang dalam benaknya bahwasanya sistem perputaran jaman membuat ia lupa
akan membentuk keluarga yang harmonis sehingga surga yang mereka harapkan
hilang seketika tanpa dugaan bahkan dongeng kerajaan yang mereka bangu pun
lenyap dalam pandangan mata.(*)