Sumber:Riaurealita.com |
Oleh : Juanda Umaternate
Gemuruh ombak berbunyi tak beraturan dari kejauhan
sana. Pasir putih kilauan memancarkan cahayanya diseantero bibir-bibir pantai. Sang
mentari sangat bergairah menunjukan terang panasnya siang itu. Namun sebentar
lagi telah berganti malam.
Sementara diperkampungan Desa, si kecil Allif, lelaki
yang tangguh, penuh semangat membantu ibunya dalam susah maupun duka. Walaupun
Tak bersekolah, namun ia cukup dewasa memahami kondisi keterbatasan yang mereka
miliki. Sesekali bersedih. Namun sesekali bersyukur atas rahmat yang diberikan
oleh Tuhan.
Bagaimanapun kehidupannya, namun Allif tak pernah
menyerah menjalani kesehariannya dalam bekerja. Wajah polos yang semestinya
masih membutuhkan perhatian serta kasih sayang dari orang tua, namun kini kehidupan
yang senantiasa mengajarkan Allif harus banyak bersabar dan dewasa dalam lalui
hari-hariny.
Sehingga waktu bermainpun sesekali Allif harus tinggalkan. Walaupun begitu, ia tak
pernah putus asah. Ia sadar bahwa kehidupan mereka sangatlah miskin sehingga
apapun yang terjadi ia akan berusaha semampunya membantu ibunya dalam mencari
nafka. Setiap sore aktifitasnya hanya bekerja mencari kayu bakar untuk dijual,
walaupun upah yang didapat pas-pasan namun ia sangat bersyukur atas pekerjaan
yang ia lakukan.
***
Ketika ada waktu yang kosong sering ia luangkan untuk
bergaul dengan anak-anak seumurannya, namun anak-anak tersebut tidak
menghiraukanya, sebab penampilannya sudah berbeda bila dibandingkan. Sering ia
ditertawai dan diremehkan. Tapi itulah kenyataan hidup yang sekarang ia miliki,
lirihnya dalam hati penuh sabar.
Sore itu ia duduk menyendiri sambil menatap gebu-gebu
ombak yang terhempas diatas pasir putih. Sementara kedua bola matanya berkaca
penuh limangan air mata. Kesedihannya meluap tinggi mengingat atas perlakuan
yang telah anak-anak perbuat kepadanya, namun ia sadari, mungkin tidak pantas
ia harus berkawan dengan anak-anak yang kaya.
Ia mencoba menguatkan diri, menghapus air mata, lalu
beranjak pulang melihat kondisi ibunya. Mungkin ibunya terlalu banyak bekerja
sehingga terjatuh sakit. Sehingga ia harus mengambil alih semua pekerjaan
ibunya. Memasak, mencuci, dan juga tak lupa mencari kayu bakar untuk dijual sebagai
keperluan membeli obat untuk pengobatan ibunya. Semua itu ia lakukan dengan
senang hati. Walaupun beban kerjanya begitu banyak namun ia selalu luangkan
waktunya untuk pergi shalat serta ngaji di mesjid saat selesai magrib.
Aktifitas itu selalu ia lakukan agar ibunya bisa terbebas
dari kesakitan yang ibunya alami. Setiap malam Allif selalu bermujat
menyampaikan kesedihanya kepada Tuhan.
"Ya
allah hanya kepadamu aku menyembah dan hanya kepadamulah aku bermohon. Tiada
kalimat lain yang ingin kusampaikan melainkan sembuhkanlah ibuku dari sakit
yang ia alami sekarang ini, sebab dalam kehidupanku aku tak sanggup melihatnya
menderita diatas selembar tikar yang kusut yang sesekali sering membuatnya berteriak
ketika sakitnya melambung tinggi, Mungkin hanya engkau yang dapat mengobat rasa
sakit yang ia alami, olehnya itu aku rela berbuat apa saja asalakan ibuku bisa
tersenyum kembali seperti biasanya"
Malam itu menjadi malam yang begitu sakral atas
kesaksiannya kepada Tuhan. Dalam benaknya ia rela Tuhan mengambil nyawanya
asalakan jangan ibunya. Begitu besar kasih sayang Allif kepada ibunya sehingga
ia siap menerima resiko apapun yang akan Tuhan berikan.
Malam semakin larut, dan rintihan hujan masih saja tak
segan memancarkan uap kedinginan menyelimuti desingan malam, pancaran sinar
bulan semakin redup tertutup oleh gelapnya awan hitam, namun allif tetap tegar
tak kenal lelah berdoa.
***
Pagi menjemput lagi, kebiasaan yang sering ia lakukan
kini ia tinggalkan, sebab ia lebih memilih menjaga ibunya dibandingkan dengan
bekerja, sehingga suatu hari uang yang awalnya disimpan untuk membeli obat,
kini telah habis dibeli dengan makanan. Dalam keadaan yang terdesak itu
terpaksa ia harus meminjam uang kepada salah satu pengusaha yang berada
dikampung mereka, namun apa yang ia terima, bukan jumlah uang melainkan hinaan.
Allif mencoba bersabar sembari menguatkan diri keluar
masuk rumah meminjam uang, tetapi tak satupun pengusaha yang ada di kampung
mereka itu yang mau memeberikan pinjaman kepadanya. Kini ia harus kembali kerumah
dengan wajah yang penuh kesedihan.
Saat ditengah perjalanan menuju rumah Allif
dikagetkan dengan suara orang-orang kampung yang sedang berkumpul mengelilingi
sosok tubuh yang lunglai terbaring di atas badan jalan depan rumahnya. Ketika dari
kejauhan ia melihat, mengapa banyak sekali orang-orang berkumpul didepan
rumahnya, pikirnya sembari berlari karena penasaran atas apa yang sedang
terjadi. Langkah demi langkah ia berlari. Jarak yang ia tempuh kini semakin
dekat.
Ketika memasuki dan melewati baris per baris orang
yang berdiri, matanya sempat melotot melihat ibunya tergeletak begitu saja,
namun tak ada satupun yang berani mengangkat ibunya.
Setelah kejadian itu Allif tak henti-henti
mengeluarkan air mata, sosok ibu yang sangat ia sayangi dan ia cintai kini telah
pergi meninggalkannya untuk selam-lamanya. Sehingga ia hanya bisa pasrakan
semuanya kepada yang maha kuasa. Ya allah semoga ibuku dapat di terima disismu
dan ditempatkan disurgamu, amiin… Doanya sambil mencium dahi ibunya.(*)