Oleh : Fauji Yamin
(Institut Tinta Manuru)
Nak, sini aku buatkan kopi untukmu sebagai tanda persahabatan kita.
Maafkan, jika rasa pahitnya tidak seindah harapanmu. Maafkan juga jika manisnya tak sesuai inginmu. Lidahku mungkin tidak setajam yang kau harapkan, sudah terlalu kaku menyuarakan kebenaran. Hanya ku gunakan untuk mengucap kata-kata indah lainya. Bukan indah duniawi, lidahku sudah mulai ku ucap kata indah, nama indah, arti indah, pemilik keindahan.
Nak, aku ingin bercerita. Tentang masa mudaku. Tentang, pesawat-pesawat jepang yang melintas diatas kepala kami di saat aku masih menikmati sepakan bola terbuat dari beberapa gulungan kain di rekatkan memakai tali, di indahnya pantai yang sekarang tak kau pandangi.
Waktu itu, aku masih berparas gagah, usiaku 17 tahun saat ku dengar di suara radio Soekarno itu meneriakan kemerdekaan, membacakan proklamasi. Sembari menangis aku berucap "Merdeka".
Seruputlah kopimu. Akan kulanjutkan setelah aki menyulut rokok ini.
sebelum kemerdekaan, kami harus menggali parit-parit agar bersembunyi. Bunyi pesawat jepang dari kejauhan adalah petanda kami harus masuk ke parit yang kami gali. Parit itu jauh dari perkampungan, kami harus berlari. Tidak ada bekal, hanya bermodal sebuah parang dan rerimbunan daun dan pohon. Parit kami tutup rapat, agar tidak kelihatan si mata cipit.
Walaupun pesawat sudah berlalu, kami tidak berani keluar, berhari-hari kami di parit. Tanpa makan. Setelah aman, kami pulang ke kampung, memulai lagi aktivitas kami.
Setelah merdeka, kami bersorak. Kita bebas nak. Bebas membangun masa depan anak-anak kami. Aku mulai berlayar, menjadi pelaut. Kau tau perahu phinis nak? Dulu aku mempunyai kapal tersebut. Anak buah ku adalah anak-anakku sendiri. Kami berlayar pulau demi pulau, membentangkan layar, mengadu nasib, agar punya uang menyekolahkan anakku.
Lima tahun lamanya aku berlaya. Anak buahku sudah di ganti oleh orang lain. Anak-anakku sudah sekolah. Allhamdullih, aku turun, dan bercocok tanam. Tanaman yang tidak asing oleh penjahan. Tanaman rempah yang katanya tersohor di negeri eropa sana itu.
Habiskanlah kopimu nak....sebentar lagi sore. Aku harus kembali mengucap kata rindu.
taukah kamu, jika dulu adalah jaman yang indah? Tidak ada yang melarang kami berkebun di lahan sendiri.Tidak ada yang melarang kami beribadah, memeluk kepercayaan kami. Tidak ada yang menjanjikan manisnya kehidupan?.
Aku masih ingat betul jaman itu nak, bahkan sampai kepalaku di rayapi uban. Nak..jaman mu penuh dusta, kau harus melatih lidahmu untuk meneriakan kebenaran. Tidak usahlah kamu meneriaki kami. Kami cukup menanam.
Teriakilah para pencuri-pencuri, teriakilah kebohongan dan teriakilah pemimpinmu yang tidak mau bersalaman dengan kedamaian. Ambilah sedikit punyamu, bagikanlah pada mereka bagian lainya. Hanya itu yang aku pesan.
Habiskanlah kopimu,,, esok kita berbincang lagi...tentang perjalanku menapaki dunia, tentang caraku menemukan Tuhan. Jangan sisahlan setetespun, kopi adalah pribadi sedang cangkir adalah wajah.
Aku harus pamit, ada rindu yang perlu di selesaikan...